Dalan Liyane
“Kita lahir dengan cinta. Kita tumbuh dengan cinta. Kita hidup dengan cinta. Yang kita tau adalah mencintai tuk dicintai. Cinta kadang menjadi penyakit. Tak tau apa penyebabnya. Kalau sudah tersakiti bisa saja kita lari kenyataan, mati bunuh diri atau slalu menyendiri. Ah, dasar…..”
Tulis Haris dalam sebuah kertas lusuh yang ia temukan di bawah sepatunya. Seperti ungkapan kekecewaan yang sangat mendalam. Kertas lusuh yang bertuliskan puisinya itu, ia baca berulang kali. Setelah puas, ia buang kertas itu sembarangan. Tanpa Haris sadari kertas itu di ambil Lisa, teman sekelasnya yang juga mantan pacarnya saat dulu masih kelas tujuh "Ngeri ya kelas tujuh udah punya mantan, hihihihih”😂
“Ahaa,,,, akan ku bacakan nanti di depan kelas." Tukas Lisa, setelah membaca kalimat demi kalimat yang Haris tuliskan di kertas lusuh itu.
“Saatnya jam pertama di mulai.”
Bunyi bel masuk kelas. Haris berjalan lesu menyusuri ruangan demi ruangan yang berjejer di depannya. Wajahnya cemberut dengan rambut yang acak-acakan. Seragamnya terlihat compang-camping yang menyerupai gelandang. Dengan langkah gontai sampailah Haris di depan kelasnya.
Tiba-tiba dari dalam kelas ada teriakan yang mengarah pada Haris. "Hei, budak cinta datang. Huuu..." sahut semua siswa yang ada di dalam kelasnya.
Haris tak menghiraukan perkataan mereka. Dia langsung masuk ke dalam kelas yang penghuninya masih saja menghujatnya. Haris menuju tempat duduk dipojok kiri paling belakang. Di sana Haris biasa menghabiskan rasa jenuh terhadap pelajaran serta guru yang menurutnya sangat membosankan. Tempat duduk tersebut telah menjadi saksi selama hampir tiga tahun bahwa Haris belajar dengan sungguh-sungguh, walaupun hanya dikira pindah tempat tidur saja oleh guru dan temannya.
Tempat duduk di pojok belakang memang tempat duduk terfavorit bagi anak-anak cerdas. Tanpa disadari mereka telah berwawasan luas. Berpikir dewasa dan kerap dianggap agak menyimpang dari norma-norma tak tertulis di sekolah. Kebanyakan dari mereka kesetiaan kawan adalah nomor satu.
Mengenai fisik, Haris memiliki postur tubuh yang bisa dikatakan sempurna untuk ukuran anak SMP. Tingginya seratus enam puluh lima sentimeter, berat badannya lima puluh lima kilogram, wajahnya tergolong kaum bangsawan dengan kulit putih, bola mata bulat bening yang terkadang menyisihkan pelangi indah di dalamnya. Hidungnya mancung bagai keturunan orang Arab. Wajar jika Haris menjadi primadona bagi kebanyakan siswi perempuan di kelasnya.
Hari ini Haris berbeda. Ada sesuatu yang telah mengganggu hatinya. Sehingga banyak perempuan yang merasa cemburu dengan hal itu. Lisa terutama, karena sebenarnya dia masih menaruh rasa pada Haris. Setelah menemukan coretan Haris di kertas lusuh itu, Lisa memang benar-benar membacakannya di depan kelas dan disambut dengan sorak sorai seluruh temannya terutama kaum hawa.
Haris masih saja duduk di bangku kesayangan sambil memperhatikan semua temannya menggonggong mengenai dirinya. Beberapa menit kemudian datanglah guru seni budaya dan sastra di kelas Haris. Semua warga kelas kembali ke tempat duduknya masing-masing dan diam seribu bahasa.
“Assalamu’alaikum warohmatulalhi wabarokatuh" sapa Guru seni budaya dan sastra pagi itu.
“Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh !" seru semua murid kelas IX N MTs. Hidayatush Shibyan Boarding School.
“Hari ini kita akan membahas mengenai puisi ya, dan nanti kalian akan membuat satu puisi yang temanya terserah kalian masing-masing." Haris mulai bosan, dia bosan bukan terhadap pelajaran dan guru pada pagi hari itu. Melainkan Haris sudah sering membuat puisi dan semuanya ia buang begitu saja setelah menulisnya.
Angin pun menyapa Haris melalui jendela yang berada tepat di sampingnya. Dia mendongakkan kepala memandang keluar. Mencari sejuta kenangan indah yang telah berhamburan dengan dibuangnya kertas lusuh berisi coretan-coretan puisi miliknya. Namun, kenangan itu menggoreskan luka menyayat di setiap detiknya.
Tanpa Haris sadari, Guru seni budaya itu telah berada di sampingnya dan menyuruh Haris untuk membacakan puisi karyanya.
"Haris, tolong bacakan puisimu!"
"Belum buat Bu" jawab Haris dengan nada santai. Lalu semua mata tertuju pada Haris. Mereka ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Belum buat? Lalu dari tadi kamu ngapain aja? Ha?" Tanya guru seni dengan sedikit menggertak.
Haris menghela napas dalam-dalam. Mengeluarkan perlahan-lahan sambil memandang semua teman-temannya yang dari tadi menyaksikan percekcokan kecil antara dirinya dengan Ibu Guru tersebut.
"Begini Bu, bukanya saya lancang. Ibu mengajarkan karya sastra puisi, apa Ibu sudah punya karya puisi? Kalo sudah punya, coba Ibu bacakan puisi karya Ibu!” tanya Haris dengan santai. Bu Astrid hanya diam.
“Belum punya karya kok berani-beraninya Ibu mengajarkan hal tersebut pada kami. Itulah yang membuat saya merasa bosan Bu." Jelas Haris dengan tegas dan lancar tanpa ada jeda sama sekali.
Plaaaakk...
Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi kiri Haris. "Guru itu di gugu dan di tiru. Tidak sepatutnya guru memukul murid karena tidak tahan kritik." Teriak Haris sembari melangkah keluar meninggalkan kelas.
Atap sekolah menjadi pelarian pertama. Haris tak mungkin langsung pulang ke asrama. Sebab pengasuh asrama pasti akan memarahi dan menghukumnya nanti. Dengan luapan emosi yang bergemuruh di dada, Haris berteriak sekeras-kerasnya. Dia tidak peduli dengan guru yang melihatnya. Dia tidak peduli dengan siswa siswi yang mendongak ke atas untuk mengetahui apa yang terjadi. Bahkan penjaga kantin sempat keluar untuk melihat sumber suara.
"Ris...." terdengar suara berat dari belakang Haris. Ada Anam disana, teman sekelas dan teman sejak kecilnya.
“Ada apa Nam?” tanya Haris.
“Lo kenapa?” Anam balik bertanya pada Haris.
“Aku tak tahan dengan guru yang tak tahan kritik, aku…” kalimat Haris terpotong oleh gelengan kepala Anam.
“Bukan itu maksudku” Sela Anam.
“Lantas ?” tanya Haris.
“Sebelum masuk kelas apa yang terjadi denganmu?” tandas Anam.
Suasana menjadi hening, Haris hanya diam membisu. Dia tak mengucapkan sepatah katapun selama beberapa menit. Tatapan matanya tajam ke depan. Haris menatap Anam lamat-lamat.
“Ada perempuan yang aku suka. Namanya Fira, dia termasuk objek yang cantik. Memang, sebab dia perempuan. Dia siswi kelas IX B. Kami sudah sangat dekat sekali, pertama kali aku bertemu dengannya saat kegiatan class meeting dua tahun yang lalu. Aku yang mulai membuka percakapan dengannya. Ku tanya siapa namanya, alamat rumahnya dan kelas berapa. Kemudian aku meminta nomornya dan dia memberikan. Kami sering bertemu saat jam istirahat pertama dan kedua, bahkan ketika pulang sekolah. Saling balas chat baik via whatsapp ataupun via messenger, saling teleponan kadang-kadang video call dan banyak kisah indah yang sudah kami lukiskan pada semesta ini.
Haris berhenti sejenak. Terlihat di sudut matanya mulai berlinang air mata. Kecil bentuknya, namun menyayat dalam dada. Meskipun Haris berbadan tinggi gagah perkasa sehat sentosa namun dia memiliki hati barbie. Dia menyeka linangan air mata yang belum sempat jatuh itu dengan ujung lengan bajunya. Anam tetap diam seribu kata, menunggu lanjutan cerita sahabatnya. Baginya menjadi pendengar setia adalah satu cara yang tepat dalam keadaan seperti itu.
“Pernah suatu hari aku membelikannya hadiah kecil. Sebuah hijab segi empat Zoya dengan motif yang unik. Perpaduan warna peach dengan dusty pink. Menawan sekali, di tiap sudut tepat di ujungnya bertuliskan “Bingkisan rindu”. Harapanku saat dia tersiksa oleh perasaan rindu padaku, dia bisa memakai hijab itu setiap waktu. Dan membayangkan semua hal indah bersamaku. Sebenarnya aku nakut Nam, takut kalau dia tidak menerimanya. Saking takutnya, niatku untuk membeli hijab itu pudar. penjaga toko bertanya padaku, jadi beli atau tidak, dan aku menjawabnya, aku takut kalau hadiah ini tidak diterima olehnya. Jadi aku beli satu saja. Kataku padasi penjaga toko, Nam.”
“Bodoh!” sela Anan dengan tersenyum.
“Setelah membeli, esok harinya aku mengajaknya untuk bertemu di Pantai. Kami berbicara panjang lebar dengan di temani lumatan mie ayam dan lumatan es coklat yang menari-nari di mulut. Aku masih ingat hari itu, tertanggal 16 Februari hari Ahad. Bertepatan dengan yaumul miladnya, aku tidak menyangka Nam. Dia menerimanya dengan senyuman pelangi yang paling indah di muka bumi....🤗🤗 Aku masih ingat semuanya. Saat dia menyuruhku untuk menghabiskan makananku meskipun perutku sudah ingin meledak, saat dia menaruh senyum di setiap gerak-gerikku, saat dia menatap matamu dengan perasaan tersirat yang tidak ku ketahui dan saat dia berpamitan kepada ku setelah aku membayar makanan yang tadi kami makan, dia masih menggoreskan senyum terindahnya pada ingatanku.
Aku tidak bisa melupakannya, Nam. Aku jatuh pada samudra senyumnya, aku terlanjur tenggelam dan tak mau kembali ke permukaan.”
“Lantas, apa yang membuat haimu terganggu?” tanya Anam tanpa basa-basi. Kali ini raut mukanya lebih serius dari awal dia mendatangi Haris.
“Aku mengira semesta ini merestui kami, Nam. Tapi aku salah. Beberapa hari dari pertemuan itu dia tiba-tiba menghilang begitu saja. Tidak pernah ada kabar, tidak pernah menelepon, tidak pernah bertemu lagi. Awalnya aku biasa saja. Pikirku, mungkin dia terlalu sibuk dengan aktifitasnya. Namun, untuk kesekian kali aku salah. Dia tetap tak ada kabar sama sekali. Mengapa Nam? Mengapa dia menyalakan api cinta di hatiku dan membakar jiwaku yang merana? Kata manisnya selalu membuatku sangat yakin kepadanya, hingga membuatku terlena.” Haris kembali menghentikan ceritanya. Bulir-bulir air mata sudah membanjiri pipi sembabnya. Ada perasaan emosi yang sangat mendalam di hati Haris.
“Lalu?” bisik Anam lirih.
“Puncaknya sore kemarin. Tanpa sengaja saat pulang sekolah, aku berjalan dan bertemu dengannya di depan gerbang sekolah. Suasana sedang misterius-mistiriusnya saat itu, kami saling bertatapan muka. Tatapannya seperti akan terjadi perang dunia. Aku merasa gemetar, namun tetap kuberanikan mendekatinya. Setelah berada tepat di hadapanya, aku hanya mengatakan satu hal. ‘Beri aku satu alasan kenapa kamu menghindar dariku dan kamu sudah tidak mau dekat denganku lagi?’ Dia hanya menjawab dengan Satu kalimat yang merobohkan benteng besar keyakinanku, Nam. Begini jawabnya ‘Mohon maaf Ris, aku sudah menjalin komitmen dengan orang lain.’
Anam mengangkat satu alisnya tinggi-tinggi. Dia tidak percaya dengan apa yang di ucapkan oleh Haris. Tapi, saat Anam menatap Haris dengan teliti, dia tahu bahwa Haris tidak sedang berbohong.
“Haris” terdengar suara Anam menggoda gendang telinga Haris.
“Hemmmm” Haris menolehkan kepalanya pada Anam. Perasaanya masih campur aduk.
“Saat seseorang sedang patah dan kecewa di waktu tertentu, maka pada hakikatnya dia sedang membatasi diri dan hatinya sendiri. Padahal hati itu tidak ada batas dan takaran di dalamnya. Andaikan nanti kamu meminta nasihat pada orang bijak di muka bumi ini, maka tak ada satupun yang dapat menyembukanmu. Sebab yang bisa menggali dan mencabut duri di batinmu hanyalah dirimu sendiri, sedang orang lain hanyalah supporter bagimu. Tak ada satupun kesakitan yang melampaui takaran, yang tau takarannya hanyalah Allah. Dan Allah tak pernah memberatkan makhluknya. Kalaupun sekarang kamu sedang patah, bisa jadi itu kehendak Allah untuk menghindarkanmu dari orang yang salah.” Anam mulai berkata panjang lebar seperti rumus matematika hihihi. Namun, ini beda, ini rumus cinta.
“Pernah dengar tidak kalau Allah itu sangat pencemburu ?” tanya Anam kemudian.
“Tidak” jawab Haris dengan tetap memandang Anam.
“Bisa jadi Allah sedang menamparmu. Kemarin ketika kamu mencurahkan segenap isi hatimu pada Fira, kau lupa untuk bersyukur pada yang menumbuhkan cinta. Dan kau berlagak seolah Allah tak mencampuri cintamu. Dalam fisika juga mengajarkan bahwa benturan menimbulkan perubahan bentuk. Jadi, jalur hidup untuk mendewasakanmu yaitu dengan membenturkanmu melalui kenyataan-kenyataan yang berulang kali tak sesuai dengan harapan.
Hidup itu harus sejajar, antara harapan dan kenyataan. Jika harapan kau dahulukan melebihi kenyataan, maka terkadang kau akan terpatahkan. Dan jika kenyataan kau dahalukan dengan harapan, maka kau sedang dalam keputusasaan. Itulah mengapa harapan harus di bungkus dengan doa, bukan hanya angan-angan belaka.” Anam menghela nafas dalam.
“Apa kemarin malam setelah berjama’ah sholat isya’ kau tidak mendengarkan nasihat Abah? ‘Untuk sekarang fokus belajar, sebentar lagi kalian akan menghadapi ujian sekolah. Doakan saja bagi jodoh kalian yang belum jelas keberadaanya, semoga dia adalah sosok yang mempunyai cita-cita yang sama, yaitu saling membahagiakan tanpa banyak permintaan. Karena jika kalian mencari yang sempurna, surgalah tempatnya. Tapi, bila saling menyempurnakan, ijab kabul gerbangnya.’ Itu nasihat Abah.” Ujar Anam dengan mantab. Semua perkataannya disimpan baik oleh Haris.
Haris melingkarkan pergelangan tangannya ke punggung Anam. Dengan suka cita dia mengucapkan segala terimakasih pada teman sejak kecilnya itu. Kini hati Haris sudah tidak sekacau seperti saat masuk kelas. Dengan Anam, di atas atap sekolah mereka saling tersenyum, tertawa dan mengenang masa lalu. Masa dimana mereka masih kecil dan belum merasakan apa namanya cinta, apalagi perasaan ketika ditinggal pas sayang-sayange, pas lagi jeru-jerune 😁
"Terkadang apa yang kita inginkan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan"
Penulis : Zahrotin Nur Firda (PK IPPNU MTs. Hidayatush Shibyan).
Editor : Wiwit Ws